Aku tahu betapa tak berharganya diriku
dimatamu, aku gadis desa yang menurutmu masih terlalu lugu dan bodoh untuk
sekedar berbicara denganmu. Tahukah, aku begitu tersiksa dengan perlakuanmu
selama ini. Memang diantara kita tak pernah ada kata sayang bahkan suka
sekalipun, namun kau pasti sadar bahwa akulah calon istrimu. Dan kau adalah
calon suamiku. Sepatutnya aku mendapat sedikit perhatian darimu, bukan rasa
iba. Aku tak butuh itu.
Aku tak terlalu paham bagaimana jalan
pikirmu hingga kau mau menerimaku sebagai calon istrimu, kau pun pasti punya
pertanyaan yang sama denganku, bagaimana aku bisa menerimamu sebagai calon
suamiku.
Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya.
Pasti kau tahu, ayahmu adalah teman sekantorku.
Aku sangat menghormatinya, beliau sangat ramah terhadapku. Sebagai sesepuh
dikantor, beliau begitu peduli denganku yang hanya karyawan baru yang
berpangkat rendahan. Kau tahu? Ayahmu sering menceritakanmu, awalnya aku tak
tahu apa maksudnya, namun lama kelamaan aku pun sadar bahwa ayahmu tertarik
denganku dan berkeinginan menjodohkanku denganmu.
Aku tak tahu pasti apa yang membuat ayahmu
begitu menyayangiku, aku yang masih berumur 19tahun kala itu, masih sangat
polos, mungkin juga lugu. Yaa.. aku memang gadis desa berparas biasa yang
mungkin umum ditemukan. Haha
Kala itu ayahmu menanyakan apakah aku sudah
di khitbah oleh seorang lelaki. Akupun menjawab belum, karena waktu itu aku
memang hanya pacaran, belum ada kata khitbah dari pacarku. Lalu ayahmu
tiba-tiba menyampaikan niatnya untuk mengenalkanku denganmu. Sontak aku kaget,
aku bingung bagaimana menanggapinya. Satu sisi aku sudah mempunyai seorang
kekasih yang sangat aku cintai, dan disisi lain ayahmu adalah orang yang sangat
aku hormati. Tapi mengingat unggah-ungguh orang jawa yang harus menghormati
orang tua, aku pun meng-iyakan tawaran ayahmu.
Kau pasti ingat ketika ayahmu menelfonmu
dan tiba-tiba kau harus berbicara denganku, memang kesannya kaku, karena aku
juga terpaksa menyetujui niat ayahmu. Dan aku begitu kaget ketika ayahmu datang
kerumah tanteku, mereka merencanakan pertemuan kita. Padahal awalnya aku
berpikiran kita bisa saja berkenalan lewat sms, telfon atau macam chatting yang
lain. Karena aku pikir pertemuan itu sangatlah sakral, sedangkan aku masih
berstatus pacaran dengan orang lain. Ayahmu terlalu terburu-buru dengan semua
ini, dan terlalu muluk-muluk akan rencananya. Jujur aku sangatlah muak, namun
kembali lagi, aku sangat menghormati ayahmu.
Setelah pertemuan itu, ayahmu sering
menanyakan bagaimana perasaanku, bagaimana rencana kedepan, dan apa yang sudah
aku bicarakan denganmu. Apakah itu logis? Pasti tidak kan? Aku sangat tertekan
dengan semua pertanyaan ayahmu.
Aku baru mengenalmu beberapa hari, aku pun masih
punya pacar, dan ayahmu menanyakan bagaimana perasaanku terhadapmu?? Apakaah ayahmu
tak pernah merasakan masa muda?
Belum lagi keluargaku (kecuali ibuku), mereka
begitu mendukung dengan acara perjodohan ini. Sangat konyol, bagaimana dengan
mudahnya orang-orang itu memaksakan perasaanku untuk memilihmu. Aku berusaha
untuk mempertahankan pacarku yang begitu cinta kepadaku.
Tapi aku tidak menyangka, ayahmu menyebarkan
berita bahwa aku akan menikah denganmu, yang sama sekali bukan keinginanku. Aku
tidak mencintaimu, kau pun begitu. Sekarang aku berada diposisi yang sulit. Aku
terjebak!
Ya.. satu sisi aku ingin menolak tawaran
ayahmu, tapi disisi lain aku tak mungkin mempermalukan ayahmu karena telah
menolak tawarannya. Semua orang sudah tahu bahwa ayahmu akan menjadikanku
menantunya.
Aku sangat bingung, aku terjebak, aku sakit…
Dan akhirnya aku memilihmu, aku
meninggalkan kekasihku yang sangat aku cintai demi seseorang sepertimu yang tak
pernah menghargaiku. Apakah itu setimpal? Kau harusnya bisa berpikir tentang
itu.
Kau hanya memandangku sebelah mata,
kata-katamu seakan selalu merendahkanku. Jujur aku sangat muak.
Tentang perkenalan kita, kau selalu meminta
waktu untuk bisa mengenalku terlebih dahulu. Aku sudah memberimu ruang dan
waktu untuk kau gali bagaimana diriku ini. Tapi apa yang kau lakukan? Kau tak
pernah memanfaatkannya. Yang terjadi selama ini hanya sekedar wawancara. Yaa..
aku wartawan dan kau narasumber. Lucu bukan?
Aku selalu menanyakan keseriusanmu, tapi
apa jawabmu? “ kita baru beberapa kali bertemu, bagaimana aku bisa serius
denganmu”. Ahh.. alasan itu, aku sangat muak mendengarnya.
Seharusnya, jika kau tak menginginkan
perjodohan ini, kau harus menolak tawaran ayahmu. Tapi kau pun seakan tak
berdaya, kau lemah, aku pun lemah. Namun kita berbeda posisi, kau yang memegang
kunci, sedangkan akulah korban dari semua ini.
Hidupku hancur, kau, ayahmu dan ibumu
selalu menguras pikiranku. Sikapnya yang terlalu protektif membuatku tersiksa. Tak
habis pikir, bagaimana bisa ayahmu mencurigaiku yang jelas-jelas selalu ada
dalam pengawasannya. Sedangkan kau bisa bebas dekat dengan siapapun tanpa
sepengetahuanku atau keluargamu. Ini tidak fair!
Harusnya kaulah yang harus diawasi,
pikiranmu belum begitu dewasa. Kurasa kau masih kalah dewasa denganku.haha
Aku hanya memohon, jika aku tak pernah ada
dihatimu, hentikan semua ini. Kau yang memegang kunci itu. Aku berhak bahagia. Hidup
dengan seseorang yang mencintaiku apa adanya. Kau juga berhak untuk menikah
dengan orang pilihanmu sendiri.
Cobalah jujur dengan hatimu, jangan kau
membuat drama yang semakin menyiksaku.